TRANSLATE

Senin, 29 April 2013

Esay Lomba UGM PEC 2013


Hay all~~~ aku iseng-iseng nih post essay aku yang dapet juara 3 di UGM PEC 2013 :D kalo ada yang mau ngopi kirim pesan dulu yaa :)
SEMOGA BERMANFAAT ~~~ :D 
BERSIHKAN BUDAYA “UANG KOPI
DENGAN PHILOSOPY

Ni Nyoman Nila Arieswari

SMA Negeri 2 Kuta


A.  PENDAHULUAN
            Manusia memang makhluk yang tidak pernah puas. Hal ini dapat kita lihat dari hasil-hasil perbuatan yang kita lakukan.Contohnya saja, ketika kita mendapat nilai 80 dalam ulangan Matematika, maka kita pasti akan berkata , “harusnya dapet 100 nih!!”. Padahal teman-teman yang lain harus melakukan perbaikan guna memperbaiki nilainya. Contoh lain yang bisa kita temukan yaitu ketidakpuasan manusia terhadap bentuk rambut yang dimiliki. Orang yang sudah diberikan rambut panjang, lurus, mereka justru datang ke salon untuk mengubah bentuk rambutnya menjadi curly[1], pendek dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang memiliki rambut curly, pendek, mereka datang ke salon guna mengubah bentuk rambutnya menjadi lurus dismoothing[2] atau direbounding[3].  Pembahasan ini saya mulai dari pengalaman saya, pada waktu saya mengantar kakak saya menabung disalah satu bank swasta di daerah Denpasar. Pada waktu itu, saya sedang duduk diam diruang tunggu dan ada seorang wanita karir yang sedang menelepon seseorang. Dari pembicaraan tersebut, saya menyimpulkan bahwa wanita itu sedang menelepon temannya dan ia berkata, “uang kopinya ditambah dong! masak cuma segini, cuma cukup beli teh nih!!”. Saya sempat bingung saat wanita itu menyebut “uang kopi”. Saya berpikir, tidak mungkin wanita karir seperti itu membeli kopi dan teh. Hal tersebut masih menjadi tanda tanya besar bagi saya sampai saya menginjak bangku sekolah menengah atas.
Pengalaman yang saya alami ini membuat saya bertanya-tanya hingga akhirnya saya dapat menemukan jawabannya. Namun, masih ada hal lain yang mengganjal dalam pikiran saya, apa yang menyebabkan wanita karir tersebut meminta uang kopi yang lebih padahal ia bekerja disuatu perusahaan besar? Uang kopi sendiri sama artinya dengan uang tambahan atau uang tidak resmi yang diminta oleh aparat pemerintah atau kalangan swasta. Dari pengertian tersebut, kita dapat mengetahui bahwa “uang kopi” termasuk tindak korupsi. Istilah uang kopi biasa digunakan oleh para kuli bangunan untuk meminta komisi tambahan kepada mandor mereka. Bukankah ini berarti, wanita karir tersebut = kuli bangunan? Menurut saya, hal ini menjadi persis ketika seseorang petinggi menggunakan istilah orang awam guna melakukan keburukan. Kita semua tahu bahwa orang yang berada diatas itu sangat diagung-agungkan, tapi bagaimana bila tindakan mereka persis sama dengan orang yang berada dibawah? Apakah masih layak untuk diagung-agungkan? Berangkat dari pernyataan ini, secara sadar atau tidak sadar para petinggi mulai melupakan ilmu kebenaran. Ilmu kebenaran ini seharusnya dapat dijadikan pedoman pengamalan dalam bertindak. Dan budaya uang kopi ini mulai menutupi ilmu kebenaran sehingga para petinggi seakan dibutakan oleh hal tersebut. Berdasarkan uraian diatas, saya mulai mengambil bahasan bersihkan uang kopi dengan philosophy dengan pertanyaan dasar Bagaimana proses masuknya uang kopi? Mengapa mereka melakukan tindakan uang kopi tersebut? Bagaimana philosophy dapat membersihkan “uang kopi” ?

B.  PEMBAHASAN
1.    Dari Abad 14 sampai Masa Reformasi
            Sekitar abad 14, seorang sejarahwan dan sosiolog muslim Ibnu Khaldun pernah menulis tentang korupsi sebagai berikut: “Sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah melalui jalan pintas. Korupsi yang dilakukan pada level atas akan menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi dan kesulitan ini pada gilirannya akan membangkitkan korupsi lebih lanjut. Justru karena itu pemberantasan korupsi harus dimulai dari akarnya, yaitu pada level atas dan penanggulangannya harus pula melibatkan seluruh komponen bangsa”
            Masalah korupsi adalah masalah yang dihadapi oleh manusia, bukan masalah yang dihadapi oleh makhluk lain[4]. Korupsi pada awalnya hanyalah sebuah budaya suap yang sering ditujukan untuk mempermudah suatu urusan antar manusia. Belum ada formula atau konsepsi formal untuk mendefinisikannya. Saat terjadi revolusi Prancis muncul prinsip-prinsip pemisahan antara kepentingan dan kepemilikan harta pribadi dan kewenangan atas jabatan yang diembannya, baik ia seorang pejabat negara maupun dalam jajaran pejabat suatu perusahaan. Sejak saat itu, penyalahgunaan wewenang kekuasaan dan jabatan demi kepentingan pribadi dicap sebagai perilaku korupsi. Disamping itu, korupsi juga di maksudkan sebagai tindakan menyimpang dari tugas-tugas resmi atas jabatan atau kekuasaan yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi berupa status sosial, popularitas, kekayaan, atau untuk skala perorangan, kerabat maupun untuk kelompoknya sendiri. Secara etimologis, korupsi (korruptie, Belanda) berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan (riswah, Arab), penggelapan, kerakusan, amoralitas dan segala penimpangan dari jalur kebenaran. KBBI mendefinisikan korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan uang untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam konteks politik, korupsi berperan saat seseorang menyelewengkan kewenangan atas jabatan yang dimilikinya, seperti penyalahgunaan anggaran sosial, pembangunan dan lain sebagainya[5].
            Tahap perkembangan korupsi yang telah berkembang dalam tubuh negara bisa ditunjukkan mulai dari terbentuknya negara pasca kolonial (post-colonial state), periode demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, Orde Baru, hingga setelah berakhirnya rezim Soeharto. Pertama, kekuasaan negara Republik Indonesia wewenang dan pelaksanaan kebijakan maupun programnya terselenggara berkat sokongan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penyimpangan atas pendapatan dan anggaran rutin menjadi sumber korupsi bagi para pejabat dan pegawainya. Kedua, nasionalisasi perusahaan asing tahun 1957 menjadi sumber keuangan bagi negara. Pengelolaan perusahaan-perusahaan ini telah menjadi rebutan bagi para pejabat yang mengelola perusahaan tersebut, terutama dari kalangan perwira Angkatan Darat (AD). Perusahaan negara yang penting pun mereka kuasai. Korupsi besar-besaran terjadi di tubuh Pertamina, Bulog, bank-bank pemerintah, Perhutani serta Telkom dan PLN. Ketiga, para birokrat baik sipil dan militer telah terlibat kolusi dalam bisnis yang mengandalkan patron politik (political patron) baik melalui pemberian lisensi, proyek dan kredit maupun monopoli dan proteksi hingga privatisasi BUMN. Dimulai dari program ekonomi Benteng, ekonomi Terpimpin, dan ekonomi Orde Baru hingga masa pemulihan ekonomi saat ini, patronase bisnis (business patronage) tumbuh, berkembang, mencapai puncaknya dan kini masih terus bertahan. Keempat, berbagai lembaga militer dan kepolisian mengembangkan jaringan bisnisnya melalui operasi sejumlah yayasan kendati sebagian besar pesanannya bersumber dari negara. Di samping menjadi mesin uang bagi pemupukan kekayaan pribadi pada sejumlah perwira, kekayaan yayasan juga digunakan bagi berbagai operasi militer dengan alasan minimnya anggaran militer. Kelima, perluasan korupsi telah berkembang melalui praktik pembiaran bagi tumbuhnya orang kaya baru (OKB) dalam tubuh birokrasi seiring meningkatnya jumlah APBN. Lapisan birokrat dan pegawai menjadi OKB adalah konsumen penting bagi barang-barang mewah seperti produk otomotif dan elektronik yang pasarnya dikuasai sejumlah konglomerat agen tunggal pemegang merek (ATPM). Keenam, dunia peradilan dengan pasti telah mengikuti jejak perilaku birokrat dan para pegawainya yang korup. Suap-menyuap, jual beli perkara dan pemerasan adalah potret mengenai julukan prestasinya yang disebut sebagai mafia peradilan yang terus berlangsung hingga kini. Aparat penegak hukum dan lembaga peradilan semakin kehilangan kepercayaan masyarakat. Ketujuh, birokrasi tak hanya menghabiskan anggaran rutin dan membocorkan dana pembangunan, tapi juga mengembangkan dirinya secara komersial dalam melayani kebutuhan administrasi warga negara, terlebih lagi administrasi yang dibutuhkan para pelaku ekonomi setelah tumbuhnya sektor industri manufaktur ringan. Perkembangan ini disebut sebagai tahapan birokrasi pungutan (collect money bureaucracy). Kedelapan, berbagai kelompok yang tumbuh dan menikmati sistem yang korup menemukan jalan untuk mengembangkan dirinya ke dalam kegiatan bisnis ilegal seperti penebangan hutan secara liar, pencurian kayu, penambangan pasir laut, perdagangan senjata api dan narkoba, serta proteksi atas sejumlah pengelolaan bisnis hiburan dan perjudian. Kesembilan, setelah berkurangnya pendapatan negara dari sektor migas sejak dasawarsa 1980-an dan hak pengusahaan hutan (HPH) dikuasai segelintir orang serta kesenjangan pusat dan daerah telah menimbulkan pergolakan daerah dan terorisme. Selain masalah Timor Timur, juga terjadi pergolakan bersenjata (armed conflict) di Aceh dan Papua. Belakangan dilengkapi dengan konflik komunal di Sambas, Sampit, Poso dan Maluku. Berbagai aksi teror bom juga telah meningkatkan peredaran dan perdagangan bahan peledak dan senjata api. Kesepuluh, pemilihan umum (pemilu) 1999 telah menjadi ajang berebut kursi kekuasaan politik. Partai-partai politik yang bertahan dan mampu meraih hasil secara formal sebagai kekuatan yang besar dengan merebut kursi DPR dan DPRD telah menikmati hasil tersebut berkat sokongan dana yang  populer disebut politik uang (money politics) dengan membagi-bagikannya kepada calon pemilih. Kesebelas, selain tumbuh sebagai bagian dari patronase politik dalam kegiatan bisnis, para politisi (birokrat) di parlemen (DPR) - dengan menguatnya kedudukan mereka - telah pula timbul dugaan diantara mereka dalam menikmati permainan politik dagang sapi baik dalam menghadapi lawan dan membentuk koalisi maupun menyeleksi calon pejabat tertentu, hakim agung dan anggota lembaga lainnya yang diajukan kepada parlemen. Selain itu, politik ini juga berguna untuk melindungi orang-orang yang diduga terlibat korupsi dengan mengorbankan satu-dua orang yang terlibat atau lawan politiknya. Keduabelas, sejak paruh 1997, ekonomi Indonesia dilanda krisis, sehingga terjadi peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan melalui penyaluran dana sosial. Program pemerintah dijalankan berupa menyalurkan dana jaring pengaman sosial (JPS) serta dana kompensasi BBM. Seiring dengan timbulnya pengungsi akibat konflik di berbagai daerah, pemerintah pun terpaksa menyediakan bantuan bagi para pengungsi. Pengelolaan dana sosial ini juga telah membuka dugaan terjadinya penyimpangan. Ketiga belas, reformasi tak hanya membuka jalan bagi terbentuknya pemerintahan sipil dan lapisan politisi sipil, tapi juga timbulnya peluang bagi pengelolaan otonomi daerah yang lebih besar. Selain ditunjukkan oleh peningkatan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam (SDA) seperti Aceh, Riau, Papua dan Kaltim juga telah menjadi incaran bagi praktik penyimpangan dalam pengeloaan anggaran dan SDA tersebut. Dengan deskripsi singkat mengenai perkembangan korupsi di Indonesia, kiranya jelas bahwa berakhirnya rezim Soeharto dan timbulnya reformasi ternyata telah memperluas peluang praktik dan kebiasaan korupsi[6].
            Indeks korupsi Indonesia mengalami peningkatan dari 2,6% pada tahun 2008 menjadi 2,8% pada tahun 2009. Pada Maret 2010, berdasarkan hasil data survey dari “Political and Economic Risk Consultancy” (PERC), Hongkong dan Transfarency Internasional, Jerman menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup dari 16 negara yang ada di Asia Pasifik. Selain itu, sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003:42) mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia[7]. Bahkan dari laporan Bank Dunia tersebut, menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak zaman VOC sebelum tahun 1800 dan praktik itu berlanjut hingga masa-masa pasca kemerdekaan[8].
2.   Kebutuhan, Kecelakaan hingga Rencana
Seakan-akan sudah menjadi tradisi, korupsi kian merajalela dan sangat sulit untuk dimusnahkan. Tiap saat selalu saja ada berita yang menyangkut tentang korupsi di Negara ini. Dari pejabat, Selebritis dan bahkan orang biasa saja. Bingung apabila harus mengkaji penyebab mengapa orang melakukan korupsi. Bila ekonomi dan kebutuhan hidup menjadi faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi, ternyata pelaku korupsi sekarang ini kebanyakan orang-orang punya kekayaan yang melimpah. Contoh saja para anggota DPR yang terlibat korupsi, para selebritis yang terlibat korupsi, para pejabat Negara yang melakukan korupsi, kesemuanya itu bukan karena ekonomi mereka lemah. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, terpaksa mereka melakukan korupsi. Mereka semua itu memiliki harta yang sangat cukup, sehingga kondisi ekonomi dan kebutuhan hidup tidak bisa dijadikan alasan orang melakukan korupsi.
2.1 Corruption by Need atau Korupsi karena Kebutuhan.
Korupsi yang dilakukan atas dasar kebutuhan, biasanya dilakukan oleh pegawai rendahan, uang yang dicuri biasanya tidak terlalu besar, karena dia melakukan semata-mata terdesak oleh kebutuhan ekonomi, biasanya dalam bentuk pungli, mengubah kuitansi pembelian atau tindakan lainnya yang pada intinya bukan untuk memperkaya tapi semata-mata karena desakan ekonomi. Untuk pencegahan dan pengungkapan kasus seperti ini biasanya tidak terlalu sulit karena tidak melibatkan sistem dan banyak orang tetapi lebih sering dilakukan secara individu.
2.2  Corruption by Accident atau Korupsi karena Kecelakaan
Korupsi yang dilakukan biasanya oleh pemegang jabatan demi melindungi kepentingan atasannya yang lebih tinggi atau dikorbankan oleh pimpinan yang lebih tinggi. Hal ini sering dijumpai akibat prosedur dan mekanisme yang telah digariskan tidak dijalankan sebagaimana mestinya, karena pimpinan memanfaatkan kekuasaan dan keengganan atau ketidak beranian bawahan menolak keinginan pimpinan walaupun itu melanggar standar operasi dalam instansi tersebut. Pada saat terjadi pemeriksaan oleh auditor, sang pemegang jabatan keuangan harus mempertanggungjawabkan segala tindakannya berdasarkan peraturan yang ada, sedangkan pimpinan yang menginstruksikan dirinya untuk melanggar biasanya dilakukan secara lisan sehingga tidak memiliki kekuatan hukum, pada akhirnya sang pemegang jabatan keuangan harus mempertanggungjawabkan kekeliruannya sendiri, padahal dirinya hanya menikmati sebagian kecil uang hasil penyalahgunaan jabatan tersebut.
2.3  Corruption by Design atau Korupsi karena Rencana
Korupsi yang direncanakan dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang memegang jabatan dan kekuasaan cukup tinggi serta memiliki kewenangan dalam mengambil kebijakan, sehingga mampu merencanakan secara terintegrasi termasuk menyuap orang yang akan menghalangi atau menghambat kegiatan pencurian ini. Korupsi jenis ini sangat sulit dibongkar karena melibatkan orang dan dana yang cukup besar, dan seluruh kegiatan pencurian uang negara ini sudah direncanakan jauh sebelum proyek itu dilaksanakan, siapa yang melaksanakan dan bagaimana melaksanakan serta bagaimana menutupi persoalan ini jika muncul gugatan atau pemeriksaan dari pihak yang berwenang[9].

3.   Philosophy sebagai Fundamen Pembersih Uang Kopi
Tindakan korupsi yang seyogyanya harus diberantas memerlukan konsep dasar dan kebenaran sebagai acuannya. Konsep dasar serta kebenaran tersebut terkandung dalam ilmu filsafat. Filsafat seharusnya dapat dijadikan pedoman resmi guna memberantas tindakan korupsi karena filsafat bersifat rasional serta berjalan pada kebenaran. Selain mengamalkan nilai-nilai rasional, pelaku korupsi juga harus memahami bahwa kehidupan yang menjaga keseimbangan moralitas dan agama sangatlah penting. Moralitas dunia juga harus diiringi dengan pemahaman dalam menjalani kehidupan ini dengan baik. Selalu melakukan hal-hal yang terbaik dan positif sehingga membuat manusia mampu melunturkan titik hitam yang ada dalam hatinya. Pada pencapaian ini seorang manusia akan terkontrol untuk selalu bertindak baik, selalu berbuat yang terbaik untuk kepentingan umat dan negara serta lingkungannya. Bertindak sesuai dengan hati nurani juga sangatlah penting untuk menghindari diri dari hal-hal yang mengarah keperilaku korupsi.
Masyarakat pun mempunyai peranan dalam pemberantasan kasus korupsi. Korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan kesalahan kolektif dari masyarakat yang memandang koruptor orang yang hebat dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada pelaku. Dalam memberantas korupsi tentu saja masyarakat harus memberikan stigma yang negatif kepada pelaku korupsi, bukan sebaliknya. Standar penilaian masyarakat kepada manusia yang dianggap sukses bukanlah berdasarkan unsur materi semata, tetapi acuan moralitas yang telah dijalani oleh manusia tersebut juga harus menjadi dasar kesuksesan. Sejalan dengan pemikiran Immanuel Kant dalam foundation of metaphysic of moral menyatakan bertindaklah sesuai kaidah dimana engkau dapat menjalaninya secara universal. Masyarakat harus mengontrol perilakui ndividu yang tidak berbuat sesuai kaidah yang berlaku. Kaidah yang berlaku adalah kaidah-kaidah yang mengarah kepada kebenaran yang hakiki. Masyarakat juga harus menyadari bahwa dampak korupsi juga akan menyengsarakan mereka, yang akan berdampak pada penurunan kualitas hidup masyarakat.
Pemerintah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam pemberantasan kasus korupsi. Pemahaman korupsi bagi semua elemen bangsa sangatlah penting. Komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi haruslah diawali dengan pemahaman korupsi yang sama sehingga tidak terjadi multitafsir dari tindakan warga yang melakukan tindakan korupsi. Pemerintah harus memperjelas epistemologi[10] penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi. Penafsiran yang berbeda, akan menyebabkan pelaku yang tidak melakukan tindakan korupsi dapat dituduh dan dijerat hukum melakukan tindakan korupsi. Sebaliknya, pelaku yang melakukan tindakan korupsi dapat dibebaskan dari jerat hukum oleh pengadilan. Aparat pemerintah sudah seharusnya tidak terlibat dalam praktik korupsi terutama aparat terkait. Banyak kasus-kasus korupsi sulit diungkapkan karena tiga hal. Pertama,  penyidik memiliki hubungan dengan pelaku. Kedua, pelaku memiliki hubungan khusus dengan atasan penyidik baik dari atasan langsung ataupun bukan atasan langsung dan ketiga, pelaku berasal dari partai yang sama dengan pemerintah atau penyidik berasal dari simpatisan partai yang sama dengan pelaku.
Berdasarkan uraian diatas, sudah menjadi tanggung jawab semua orang dalam memberantas tindakan korupsi. Mulai dari pimpinan negara hingga aparat penegak hukum semestinya dapat membedakan tindakan korupsi atas dasar filsafat sebagai acuan rasional. Sehingga ketika terjadi kasus korupsi, sudah seharusnya pemimpin mengembalikannya kepada dasar filsafat. Sehingga kebenaran pun akan terkuak.

4.    Philosophy sebagai Pendeteksi Kebenaran
Cara menemukan kebenaran terkait dengan sebuah pilihan hidup. Dalam setiap berpikir filsafat, tentu berhadapan dengan sebuah kebenaran. Kebenaran merupakan tema sentral dalam filsafat ilmu. Problematik mengenai kebenaran, seperti halnya problematik tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.
Kebenaran tidak datang dengan sendirinya, melainkan perlu dicari dengan cara yang tepat. Kebenaran bersembunyi dibalik fakta, fenomena, realita dan data. Cara menemukan kebenaran berbeda-beda, kebenaran dapat dilihat secara ilmiah dan non ilmiah. Menurut Kasmadi[11] adalah sebagai berikut: (1) Penemuan secara kebetulan, adalah penemuan yang berlangsung secara tidak sengaja, (2) Penemuan coba dan ralat (trial and error), (3) Penemuan melalui otoritas atau kewibawaan, (4) Penemuan secara spekulatif[12], (5) Penemuan kebenaran melalui cara berpikir, kritis dan rasional, (6) Penemuan kebenaran melalui penelitian ilmiah. Dari enam cara menemukan kebenaran itu, dapat disimpulkan bahwa kebenaran sebenaranya sangat beragam. Yang terpenting, cara menemukan kebenaran itu konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal inilah yang harus menjadi dasar pemerintah dalam menemukan kebenaran pada kasus korupsi. Berdasar atas filsafat dalam menemukan kebenaran, niscaya suatu negara akan menjadi negara antikorupsi[13].

C.    KESIMPULAN
Sudah kita ketahui bahwa korupsi adalah tindakan penyelewengan atau penggelapan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tahap perkembangan korupsi yang telah berkembang dalam tubuh negara bisa ditunjukkan mulai dari terbentuknya negara pasca kolonial (post-colonial state), periode demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, Orde Baru, hingga setelah berakhirnya rezim Soeharto. Seakan-akan sudah menjadi tradisi, korupsi kian merajalela dan sangat sulit untuk dimusnahkan. Tiap saat selalu saja ada berita yang menyangkut tentang korupsi di Negara ini. Dari pejabat, selebritis dan bahkan orang biasa saja. Bingung apabila harus mengkaji penyebab mengapa orang melakukan korupsi. Bila ekonomi dan kebutuhan hidup menjadi faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi, ternyata pelaku korupsi sekarang ini kebanyakan orang-orang punya kekayaan yang melimpah. Mulai dari faktor kebutuhan hingga rencana menjadi alasan tindakan korupsi.
Maka dari itu, pengamalan ilmu kebenaran (filsafat) dinilai penting dalam proses pemberantasan korupsi. Sehingga seluruh komponen makhluk hidup di dunia ini dapat menjalani hidupnya secara teratur, makmur dan sejahtera. Pemberantasan korupsi tidak hanya mengandalkan peran pemerintah, namun peran keluarga dan masyarakat juga sangat penting. Selain itu, penanganan kasus korupsi harus dapat menemukan kebenaran yang konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimanapun penyelesaian korupsi harus lebih komprehensif[14] dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
DAFTAR PUSTAKA

Dunia, Bank, 2003, Memerangi Praktik Korupsi di Indonesia, Cetakan ke-X, Depkeu, Jakarta.

Endraswara, Suwardi, 2012, Filsafat Ilmu, Cetakan ke-I, Caps, Yogyakarta.

Hamdani, Yuris, “Akar Budaya Korupsi di Indonesia”, dalam http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/05/akar-budaya-korupsi-di-indonesia-398769.html, diakses pada tanggal 17 Februari 2013.


Kasmadi, Hartono, “Medan Filsafat Ilmu”, dalam http://www.authorstream.com/Presentation/ndaru, diakses pada tanggal 11 Februari 2013.

Sandi, Oonie, “Jenis dan Penyebab Korupsi”, dalam http://onniesandi.blogspot.com/2012/06/jenis-dan-penyebab-korupsi-oleh-h-onnie.html#.USCtKmcqKDc, diakses pada tanggal 17 Februari 2013.

Zoelva, Hamdan,Fenomena Korupsi di Indonesia dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu, dalam http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/, diakses pada tanggal 5 Februari 2013.





[1] Curly: gaya rambut berombak
[2] Smoothing: metode penghalusan rambut
[3] Rebounding: metode pelurusan rambut
[5] http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/05/akar-budaya-korupsi-di-indonesia-398769.html
[7] Bank Dunia, Memerangi Praktik Korupsi di Indonesia, (Jakarta, Depkeu, 2003). hal. 42.
[8] Ibid, hal. 50.
[10] Epistemologi: cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan
[12] Spekulatif: memikirkan dalam-dalam secara teori
[13] Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Caps, 2012). hal. 208, 209.
[14] Komprehensif: sifat mampu menangkap dengan baik