Hay all~~~ aku iseng-iseng nih post essay aku yang dapet juara 3 di UGM PEC 2013 :D kalo ada yang mau ngopi kirim pesan dulu yaa :)
SEMOGA BERMANFAAT ~~~ :D
BERSIHKAN BUDAYA “UANG KOPI”
DENGAN PHILOSOPY
Ni
Nyoman Nila Arieswari
SMA
Negeri 2 Kuta
A.
PENDAHULUAN
Manusia
memang makhluk yang tidak pernah puas. Hal ini dapat kita lihat dari hasil-hasil
perbuatan yang kita lakukan.Contohnya saja, ketika kita mendapat nilai 80 dalam
ulangan Matematika, maka kita pasti akan berkata , “harusnya dapet 100 nih!!”. Padahal teman-teman yang lain harus
melakukan perbaikan guna memperbaiki nilainya. Contoh lain yang bisa kita
temukan yaitu ketidakpuasan manusia terhadap bentuk rambut yang dimiliki. Orang
yang sudah diberikan rambut panjang, lurus, mereka justru datang ke salon untuk
mengubah bentuk rambutnya menjadi curly[1],
pendek dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang memiliki rambut curly, pendek, mereka datang ke salon
guna mengubah bentuk rambutnya menjadi lurus dismoothing[2]
atau direbounding[3]. Pembahasan ini saya mulai dari pengalaman
saya, pada waktu saya mengantar kakak saya menabung disalah satu bank swasta di
daerah Denpasar. Pada waktu itu, saya sedang duduk diam diruang tunggu dan ada
seorang wanita karir yang
sedang menelepon seseorang. Dari pembicaraan tersebut, saya menyimpulkan bahwa
wanita itu sedang menelepon temannya dan ia berkata, “uang kopinya ditambah dong! masak cuma segini, cuma cukup beli teh nih!!”.
Saya sempat bingung saat wanita itu menyebut
“uang kopi”. Saya berpikir, tidak mungkin wanita
karir seperti itu membeli kopi dan teh. Hal tersebut masih menjadi tanda tanya
besar bagi saya sampai saya menginjak bangku sekolah menengah atas.
Pengalaman yang saya alami ini membuat
saya bertanya-tanya hingga akhirnya saya dapat menemukan jawabannya. Namun,
masih ada hal lain yang mengganjal dalam pikiran saya, apa yang menyebabkan
wanita karir tersebut meminta uang kopi yang lebih padahal ia bekerja disuatu
perusahaan besar? Uang kopi sendiri sama artinya dengan uang tambahan atau uang
tidak resmi yang diminta oleh aparat pemerintah atau kalangan swasta. Dari pengertian
tersebut, kita dapat mengetahui bahwa “uang kopi” termasuk tindak korupsi. Istilah uang kopi biasa
digunakan oleh para kuli bangunan untuk meminta komisi tambahan kepada mandor
mereka. Bukankah ini berarti, wanita karir tersebut = kuli bangunan? Menurut
saya, hal ini menjadi persis ketika seseorang petinggi menggunakan istilah
orang awam guna melakukan keburukan. Kita semua tahu bahwa orang yang berada
diatas itu sangat diagung-agungkan, tapi bagaimana bila tindakan mereka persis
sama dengan orang yang berada dibawah? Apakah masih layak untuk diagung-agungkan?
Berangkat dari pernyataan ini, secara sadar atau tidak sadar para petinggi
mulai melupakan ilmu kebenaran. Ilmu kebenaran ini seharusnya dapat dijadikan
pedoman pengamalan dalam bertindak. Dan budaya “uang kopi” ini mulai menutupi ilmu kebenaran
sehingga para petinggi seakan dibutakan oleh hal tersebut. Berdasarkan uraian
diatas, saya mulai mengambil bahasan bersihkan “uang kopi” dengan philosophy dengan pertanyaan dasar Bagaimana proses
masuknya “uang
kopi” ? Mengapa mereka
melakukan tindakan uang kopi
tersebut? Bagaimana philosophy dapat
membersihkan “uang kopi” ?
B. PEMBAHASAN
1.
Dari
Abad 14 sampai Masa Reformasi
Sekitar abad 14, seorang sejarahwan
dan sosiolog muslim Ibnu Khaldun pernah menulis tentang korupsi sebagai
berikut: “Sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah melalui jalan
pintas. Korupsi yang dilakukan pada level atas akan menyebabkan
kesulitan-kesulitan ekonomi dan kesulitan ini pada gilirannya akan
membangkitkan korupsi lebih lanjut. Justru karena itu pemberantasan korupsi
harus dimulai dari akarnya, yaitu pada level atas dan penanggulangannya harus
pula melibatkan seluruh komponen bangsa”
Masalah korupsi adalah masalah yang dihadapi oleh manusia, bukan masalah yang
dihadapi oleh makhluk lain[4]. Korupsi pada awalnya hanyalah sebuah budaya suap yang sering ditujukan
untuk mempermudah suatu urusan antar manusia. Belum ada formula atau konsepsi
formal untuk mendefinisikannya. Saat terjadi revolusi Prancis muncul
prinsip-prinsip pemisahan antara kepentingan dan kepemilikan harta pribadi dan
kewenangan atas jabatan yang diembannya, baik ia seorang pejabat negara maupun
dalam jajaran pejabat suatu perusahaan. Sejak saat itu, penyalahgunaan wewenang
kekuasaan dan jabatan demi kepentingan pribadi dicap sebagai perilaku korupsi.
Disamping itu, korupsi juga di maksudkan sebagai tindakan menyimpang dari
tugas-tugas resmi atas jabatan atau kekuasaan yang ditujukan untuk memperoleh
keuntungan pribadi berupa status sosial, popularitas, kekayaan, atau untuk
skala perorangan, kerabat maupun untuk kelompoknya sendiri. Secara etimologis,
korupsi (korruptie, Belanda) berarti kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, penyuapan (riswah, Arab), penggelapan, kerakusan,
amoralitas dan segala penimpangan dari jalur kebenaran. KBBI mendefinisikan
korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan uang untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam
konteks politik, korupsi berperan saat seseorang menyelewengkan kewenangan atas
jabatan yang dimilikinya, seperti penyalahgunaan anggaran sosial, pembangunan
dan lain sebagainya[5].
Tahap
perkembangan korupsi yang telah berkembang dalam tubuh negara bisa ditunjukkan
mulai dari terbentuknya negara pasca kolonial (post-colonial state), periode demokrasi parlementer, demokrasi
terpimpin, Orde Baru, hingga setelah berakhirnya rezim Soeharto. Pertama,
kekuasaan negara Republik Indonesia wewenang dan
pelaksanaan kebijakan maupun programnya terselenggara
berkat sokongan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penyimpangan
atas pendapatan dan anggaran rutin menjadi sumber korupsi bagi para pejabat dan
pegawainya. Kedua, nasionalisasi perusahaan asing tahun 1957 menjadi sumber
keuangan bagi negara. Pengelolaan perusahaan-perusahaan ini telah menjadi
rebutan bagi para pejabat yang mengelola perusahaan tersebut, terutama dari
kalangan perwira Angkatan Darat (AD). Perusahaan negara yang penting pun mereka
kuasai. Korupsi besar-besaran terjadi di tubuh Pertamina, Bulog, bank-bank
pemerintah, Perhutani serta Telkom
dan PLN. Ketiga, para birokrat baik sipil dan militer telah terlibat kolusi
dalam bisnis yang mengandalkan patron politik (political patron) baik melalui pemberian lisensi, proyek dan
kredit maupun monopoli dan proteksi hingga privatisasi BUMN. Dimulai dari
program ekonomi Benteng, ekonomi Terpimpin, dan ekonomi Orde Baru hingga masa
pemulihan ekonomi saat ini, patronase bisnis (business patronage) tumbuh, berkembang, mencapai puncaknya dan
kini masih terus bertahan. Keempat, berbagai lembaga militer dan kepolisian
mengembangkan jaringan bisnisnya melalui operasi sejumlah yayasan kendati
sebagian besar pesanannya
bersumber dari negara. Di samping menjadi mesin uang bagi pemupukan kekayaan
pribadi pada sejumlah perwira, kekayaan yayasan juga digunakan bagi berbagai
operasi militer dengan alasan minimnya anggaran militer. Kelima, perluasan
korupsi telah berkembang melalui praktik pembiaran bagi tumbuhnya orang kaya
baru (OKB) dalam tubuh birokrasi seiring meningkatnya jumlah APBN. Lapisan
birokrat dan pegawai menjadi OKB adalah konsumen penting bagi barang-barang
mewah seperti produk otomotif dan elektronik yang pasarnya dikuasai sejumlah
konglomerat agen tunggal pemegang merek (ATPM). Keenam, dunia peradilan dengan
pasti telah mengikuti jejak perilaku birokrat dan para pegawainya yang korup.
Suap-menyuap, jual beli perkara dan pemerasan adalah potret mengenai julukan
prestasinya yang disebut sebagai mafia peradilan yang terus berlangsung hingga
kini. Aparat penegak hukum dan lembaga peradilan semakin kehilangan kepercayaan
masyarakat. Ketujuh, birokrasi tak hanya menghabiskan anggaran rutin dan
membocorkan dana pembangunan, tapi juga mengembangkan dirinya secara komersial
dalam melayani kebutuhan administrasi warga negara, terlebih lagi administrasi
yang dibutuhkan para pelaku ekonomi setelah tumbuhnya sektor industri
manufaktur ringan. Perkembangan ini disebut sebagai tahapan birokrasi pungutan (collect money bureaucracy). Kedelapan,
berbagai kelompok yang tumbuh dan menikmati sistem yang korup menemukan jalan
untuk mengembangkan dirinya ke dalam kegiatan bisnis ilegal seperti penebangan
hutan secara liar, pencurian kayu, penambangan pasir laut, perdagangan senjata
api dan narkoba, serta proteksi atas sejumlah pengelolaan bisnis hiburan dan
perjudian. Kesembilan, setelah berkurangnya pendapatan negara dari sektor migas
sejak dasawarsa 1980-an dan hak pengusahaan hutan (HPH) dikuasai segelintir
orang serta kesenjangan pusat dan daerah telah menimbulkan pergolakan daerah
dan terorisme. Selain masalah Timor Timur, juga terjadi pergolakan bersenjata (armed conflict) di Aceh dan Papua.
Belakangan dilengkapi dengan konflik komunal di Sambas, Sampit, Poso dan
Maluku. Berbagai aksi teror bom juga telah meningkatkan peredaran dan
perdagangan bahan peledak dan senjata api. Kesepuluh, pemilihan umum (pemilu)
1999 telah menjadi ajang berebut kursi kekuasaan politik. Partai-partai politik
yang bertahan dan mampu meraih hasil secara formal sebagai kekuatan yang besar dengan merebut kursi DPR dan DPRD telah
menikmati hasil tersebut berkat sokongan dana yang populer
disebut politik uang (money politics)
dengan membagi-bagikannya kepada calon pemilih. Kesebelas, selain tumbuh
sebagai bagian dari patronase politik dalam kegiatan bisnis, para politisi
(birokrat) di parlemen (DPR) - dengan menguatnya kedudukan mereka - telah pula
timbul dugaan diantara mereka dalam menikmati permainan politik dagang sapi
baik dalam menghadapi lawan dan membentuk koalisi maupun menyeleksi calon
pejabat tertentu, hakim agung dan anggota lembaga lainnya yang diajukan kepada
parlemen. Selain itu, politik ini juga berguna untuk melindungi orang-orang
yang diduga terlibat korupsi dengan mengorbankan satu-dua orang yang terlibat
atau lawan politiknya. Keduabelas, sejak paruh 1997, ekonomi Indonesia dilanda
krisis, sehingga terjadi peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan melalui
penyaluran dana sosial. Program pemerintah dijalankan berupa menyalurkan dana
jaring pengaman sosial (JPS) serta dana kompensasi BBM. Seiring dengan
timbulnya pengungsi akibat konflik di berbagai daerah, pemerintah pun terpaksa
menyediakan bantuan bagi para pengungsi. Pengelolaan dana sosial ini juga telah
membuka dugaan terjadinya penyimpangan. Ketiga belas, reformasi tak hanya membuka jalan bagi terbentuknya pemerintahan
sipil dan lapisan politisi sipil, tapi juga timbulnya peluang bagi pengelolaan
otonomi daerah yang lebih besar. Selain ditunjukkan oleh peningkatan jumlah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), daerah-daerah yang kaya akan
sumber daya alam (SDA) seperti Aceh, Riau, Papua dan Kaltim juga telah menjadi
incaran bagi praktik penyimpangan dalam pengeloaan anggaran dan SDA tersebut.
Dengan deskripsi singkat mengenai perkembangan korupsi di Indonesia, kiranya
jelas bahwa berakhirnya rezim Soeharto dan timbulnya reformasi ternyata telah
memperluas peluang praktik dan kebiasaan korupsi[6].
Indeks korupsi Indonesia mengalami peningkatan dari 2,6% pada tahun 2008 menjadi 2,8% pada tahun 2009. Pada Maret 2010, berdasarkan hasil data survey dari “Political
and Economic Risk Consultancy” (PERC), Hongkong dan
Transfarency Internasional, Jerman menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara
terkorup dari 16 negara yang ada di Asia Pasifik. Selain itu,
sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003:42) mengungkapkan bahwa Indonesia
memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara
terkorup di dunia[7]. Bahkan dari laporan Bank Dunia tersebut, menemukan
bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak zaman VOC
sebelum tahun 1800 dan praktik itu berlanjut hingga masa-masa pasca kemerdekaan[8].
2. Kebutuhan, Kecelakaan hingga Rencana
Seakan-akan sudah menjadi tradisi, korupsi kian merajalela
dan sangat sulit untuk dimusnahkan. Tiap saat selalu saja ada berita yang menyangkut
tentang korupsi di
Negara ini. Dari pejabat, Selebritis dan bahkan orang biasa saja. Bingung apabila
harus mengkaji penyebab mengapa orang melakukan korupsi. Bila ekonomi dan kebutuhan
hidup menjadi faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi, ternyata pelaku korupsi
sekarang ini kebanyakan orang-orang punya kekayaan yang melimpah. Contoh saja para
anggota DPR yang terlibat korupsi, para selebritis yang terlibat korupsi, para pejabat
Negara yang melakukan korupsi, kesemuanya itu bukan karena ekonomi mereka lemah.
Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, terpaksa mereka melakukan korupsi. Mereka semua itu memiliki harta yang sangat cukup,
sehingga kondisi ekonomi dan kebutuhan hidup tidak bisa dijadikan alasan orang
melakukan korupsi.
2.1 Corruption by Need atau Korupsi karena Kebutuhan.
Korupsi yang dilakukan atas dasar kebutuhan, biasanya
dilakukan oleh pegawai rendahan, uang yang dicuri biasanya tidak terlalu besar,
karena dia melakukan semata-mata terdesak oleh kebutuhan ekonomi, biasanya
dalam bentuk pungli, mengubah kuitansi pembelian atau tindakan lainnya yang
pada intinya bukan untuk memperkaya tapi semata-mata karena desakan ekonomi. Untuk
pencegahan dan pengungkapan kasus seperti ini biasanya tidak terlalu sulit
karena tidak melibatkan sistem dan banyak orang tetapi lebih sering dilakukan
secara individu.
2.2 Corruption
by Accident atau
Korupsi karena Kecelakaan
Korupsi yang dilakukan biasanya oleh pemegang jabatan
demi melindungi kepentingan atasannya yang lebih tinggi atau dikorbankan oleh
pimpinan yang lebih tinggi. Hal ini sering dijumpai akibat prosedur dan mekanisme
yang telah digariskan tidak dijalankan sebagaimana mestinya, karena pimpinan
memanfaatkan kekuasaan dan keengganan atau ketidak beranian bawahan menolak
keinginan pimpinan walaupun itu melanggar standar operasi dalam instansi
tersebut. Pada saat terjadi pemeriksaan oleh auditor, sang pemegang jabatan
keuangan harus mempertanggungjawabkan segala tindakannya berdasarkan
peraturan yang ada, sedangkan pimpinan yang menginstruksikan dirinya untuk
melanggar biasanya dilakukan secara lisan sehingga tidak memiliki kekuatan
hukum, pada akhirnya sang pemegang jabatan keuangan harus mempertanggungjawabkan
kekeliruannya sendiri, padahal dirinya hanya menikmati sebagian kecil uang
hasil penyalahgunaan jabatan tersebut.
2.3 Corruption
by Design atau
Korupsi karena Rencana
Korupsi yang direncanakan dan ini hanya bisa dilakukan
oleh orang yang memegang jabatan dan kekuasaan cukup tinggi serta memiliki
kewenangan dalam mengambil kebijakan, sehingga mampu merencanakan secara
terintegrasi termasuk menyuap orang yang akan menghalangi atau menghambat
kegiatan pencurian ini. Korupsi jenis ini sangat sulit dibongkar karena
melibatkan orang dan dana yang cukup besar, dan seluruh kegiatan pencurian uang
negara ini sudah direncanakan jauh sebelum proyek itu dilaksanakan, siapa yang
melaksanakan dan bagaimana melaksanakan serta bagaimana menutupi persoalan ini
jika muncul gugatan atau pemeriksaan dari pihak yang berwenang[9].
3. Philosophy sebagai Fundamen Pembersih Uang Kopi
Tindakan korupsi yang seyogyanya harus diberantas
memerlukan konsep dasar dan kebenaran sebagai acuannya. Konsep dasar serta
kebenaran tersebut terkandung dalam ilmu filsafat. Filsafat seharusnya dapat
dijadikan pedoman resmi guna memberantas tindakan korupsi karena filsafat
bersifat rasional serta berjalan pada kebenaran. Selain mengamalkan nilai-nilai
rasional, pelaku korupsi juga harus memahami bahwa kehidupan
yang menjaga keseimbangan moralitas dan agama sangatlah penting. Moralitas dunia
juga harus diiringi dengan pemahaman dalam menjalani kehidupan ini dengan baik.
Selalu melakukan hal-hal yang terbaik dan positif sehingga membuat manusia mampu melunturkan titik hitam yang ada dalam hatinya. Pada pencapaian ini seorang manusia akan terkontrol untuk selalu
bertindak baik, selalu berbuat yang terbaik untuk kepentingan umat dan negara serta lingkungannya. Bertindak sesuai dengan hati
nurani juga sangatlah penting untuk menghindari diri dari hal-hal yang mengarah keperilaku korupsi.
Masyarakat pun mempunyai peranan dalam pemberantasan
kasus korupsi. Korupsi yang
terjadi di Indonesia merupakan kesalahan kolektif dari masyarakat
yang memandang koruptor
orang yang hebat dan memberikan penghargaan
yang tinggi kepada pelaku. Dalam memberantas korupsi tentu saja masyarakat harus memberikan stigma yang negatif kepada pelaku korupsi, bukan sebaliknya. Standar penilaian masyarakat kepada manusia yang dianggap sukses bukanlah berdasarkan
unsur materi semata,
tetapi acuan moralitas yang telah dijalani oleh manusia tersebut juga harus menjadi dasar kesuksesan. Sejalan dengan pemikiran Immanuel Kant dalam foundation
of metaphysic of moral menyatakan bertindaklah sesuai kaidah dimana engkau dapat menjalaninya secara universal. Masyarakat harus mengontrol perilakui ndividu yang
tidak berbuat sesuai kaidah yang
berlaku. Kaidah yang
berlaku adalah kaidah-kaidah yang mengarah kepada kebenaran yang hakiki. Masyarakat juga harus menyadari bahwa dampak korupsi juga akan menyengsarakan mereka, yang akan berdampak pada penurunan kualitas hidup masyarakat.
Pemerintah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam pemberantasan
kasus korupsi. Pemahaman korupsi bagi semua elemen bangsa sangatlah penting. Komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi haruslah diawali dengan pemahaman korupsi yang sama sehingga tidak terjadi multitafsir dari tindakan warga yang
melakukan tindakan korupsi. Pemerintah harus
memperjelas epistemologi[10] penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi. Penafsiran yang berbeda, akan menyebabkan pelaku yang tidak melakukan tindakan korupsi dapat dituduh dan dijerat
hukum melakukan tindakan korupsi. Sebaliknya, pelaku yang melakukan tindakan korupsi dapat dibebaskan
dari jerat hukum oleh pengadilan. Aparat pemerintah sudah seharusnya tidak terlibat dalam praktik korupsi terutama aparat terkait. Banyak kasus-kasus korupsi sulit diungkapkan karena tiga hal. Pertama, penyidik memiliki hubungan dengan pelaku. Kedua, pelaku memiliki hubungan khusus dengan atasan penyidik baik dari atasan langsung ataupun bukan atasan langsung dan ketiga, pelaku berasal dari partai yang
sama dengan pemerintah atau penyidik berasal dari simpatisan partai yang sama dengan pelaku.
Berdasarkan uraian diatas, sudah menjadi tanggung
jawab semua orang dalam memberantas tindakan korupsi. Mulai dari pimpinan
negara hingga aparat penegak hukum semestinya dapat membedakan tindakan korupsi
atas dasar filsafat sebagai acuan rasional. Sehingga ketika terjadi kasus korupsi, sudah seharusnya pemimpin
mengembalikannya kepada dasar filsafat. Sehingga kebenaran pun akan terkuak.
4. Philosophy sebagai Pendeteksi Kebenaran
Cara menemukan kebenaran terkait dengan sebuah pilihan hidup. Dalam setiap berpikir filsafat, tentu
berhadapan dengan sebuah kebenaran. Kebenaran merupakan tema sentral dalam
filsafat ilmu. Problematik mengenai kebenaran, seperti halnya problematik
tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan
berkembangnya dalam filsafat ilmu.
Kebenaran tidak datang dengan sendirinya, melainkan
perlu dicari dengan cara yang tepat. Kebenaran bersembunyi dibalik fakta,
fenomena, realita dan data. Cara menemukan kebenaran berbeda-beda, kebenaran
dapat dilihat secara ilmiah dan non ilmiah. Menurut Kasmadi[11]
adalah
sebagai berikut: (1) Penemuan secara kebetulan, adalah penemuan yang
berlangsung secara tidak sengaja, (2) Penemuan coba dan ralat (trial and error), (3) Penemuan melalui
otoritas atau kewibawaan, (4) Penemuan secara spekulatif[12],
(5) Penemuan kebenaran melalui cara berpikir, kritis dan rasional, (6) Penemuan
kebenaran melalui penelitian ilmiah. Dari enam cara menemukan kebenaran itu,
dapat disimpulkan bahwa kebenaran sebenaranya sangat beragam. Yang terpenting,
cara menemukan kebenaran itu konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal
inilah yang harus menjadi dasar pemerintah dalam menemukan kebenaran pada kasus
korupsi. Berdasar atas filsafat dalam menemukan kebenaran, niscaya suatu negara
akan menjadi negara antikorupsi[13].
C. KESIMPULAN
Sudah kita ketahui bahwa korupsi adalah tindakan
penyelewengan atau penggelapan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tahap
perkembangan korupsi yang telah berkembang dalam tubuh negara bisa ditunjukkan
mulai dari terbentuknya negara pasca kolonial (post-colonial state), periode demokrasi parlementer, demokrasi
terpimpin, Orde Baru, hingga setelah berakhirnya rezim Soeharto. Seakan-akan sudah menjadi tradisi,
korupsi kian merajalela dan sangat sulit untuk dimusnahkan. Tiap saat selalu saja ada berita yang menyangkut tentang korupsi di
Negara ini. Dari
pejabat, selebritis dan bahkan orang biasa saja. Bingung apabila harus mengkaji penyebab mengapa
orang melakukan korupsi. Bila ekonomi dan kebutuhan hidup menjadi faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi, ternyata pelaku korupsi sekarang ini kebanyakan
orang-orang punya kekayaan
yang melimpah. Mulai dari faktor kebutuhan hingga rencana menjadi alasan
tindakan korupsi.
Maka dari itu, pengamalan
ilmu kebenaran (filsafat) dinilai penting dalam proses pemberantasan korupsi.
Sehingga seluruh komponen makhluk hidup di dunia ini dapat menjalani hidupnya
secara teratur, makmur dan sejahtera. Pemberantasan korupsi tidak hanya
mengandalkan peran pemerintah, namun peran keluarga dan masyarakat juga sangat
penting. Selain itu, penanganan kasus korupsi harus dapat menemukan kebenaran
yang konsisten dan dapat
dipertanggungjawabkan. Bagaimanapun
penyelesaian korupsi harus lebih komprehensif[14]
dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dunia, Bank, 2003, Memerangi Praktik Korupsi di
Indonesia, Cetakan ke-X, Depkeu, Jakarta.
Endraswara,
Suwardi, 2012, Filsafat Ilmu, Cetakan
ke-I, Caps, Yogyakarta.
Hamdani, Yuris, “Akar Budaya Korupsi di Indonesia”,
dalam http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/05/akar-budaya-korupsi-di-indonesia-398769.html, diakses
pada tanggal 17 Februari 2013.
ICW, “Tahap
Perkembangan Korupsi”, dalam http://www.antikorupsi.org/new/index.php?option=com_content&view=article&id=547:tahap-perkembangan-korupsi&catid=42:rokstories&Itemid=106&lang=id, diakses
pada tanggal 16 Februari 2013.
Kasmadi, Hartono, “Medan Filsafat Ilmu”, dalam http://www.authorstream.com/Presentation/ndaru, diakses
pada tanggal 11 Februari 2013.
Sandi, Oonie, “Jenis dan Penyebab Korupsi”, dalam http://onniesandi.blogspot.com/2012/06/jenis-dan-penyebab-korupsi-oleh-h-onnie.html#.USCtKmcqKDc, diakses
pada tanggal 17 Februari 2013.
Zoelva, Hamdan, “Fenomena Korupsi di Indonesia dari Sudut Pandang
Filsafat Ilmu”, dalam http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/, diakses
pada tanggal 5 Februari 2013.